Thursday, March 29, 2007

Kamis pagi, catatan pertama

Aku sudah banyak mendengar tentang Pram, bahwa dia adalah sastrawan besar dari Blora, dan bahwa dia begitu pandai menggunakan dan mengolah kata-kata sehingga terdengar meyakinkan. Tetapi belum pernah aku merasa harus membacanya. Tetapi suatu hari, saat kami sedang makan siang, aku nyeletuk:”Kok tidak ada buku yang menarik lagi ya?”. Dan seorang pimpinanku yang saat itu juga sedang makan bersama kami bertanya “ Buku apa yang sudah kamu baca?” . Aku menjawab: “Buku karya Dan Brown.” Dan pimpinanku nampak keheranan. Sementara temanku, mbak Ria menjawab, dia sedang menunggu mas Reza untuk meminjaminya buku Pram berjudul Bumi Manusia. Dan Mas Reza sendiri saat itu mengatakan dia belum selesai membacanya. Dan akhirnya diskusi menjadi tentang Pram. Aku berpikir, … hmm apa sih yang membuat Pram begitu hebat? Aku pernah membaca cerpennya, tetapi kok biasa saja. Tetapi mungkin aku harus membaca karya Pram yang terkenal itu, biar aku tahu seperti apa Pram ini dalam bekarya.

Dan, suatu hari Minggu, aku dan Indra ke Gramedia di Matraman. Saat sedang mengantar Indra untuk mencari buku, nampak olehku roman karya Pram. Kuambil satu, Bumi Manusia. Aku ingat pimpinanku mengatakan bahwa Bumi Manusia perlu dibaca awal. Dan aku pun mulai membaca, membaca dan membaca…. Dari mulai Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan saat ini Rumah Kaca.

Minke, tokoh dalam tetralogi ini membuat aku menyadari, ada banyak hal yang tak aku ketahui tentang bumi tempat aku dilahirkan dan tumbuh. Sama sekali tak pernah aku pahami bahwa kehidupan di jaman dahulu kala demikian suram. Aku memang pernah membaca di buku sejarah saat aku SD, SMP dan SMA bahwa Indonesia telah dijajah Belanda selama 350 tahun sebelum akhirnya dijajah oleh Jepang selama 2 tahun. Tapi cerita yang ada dalam buku sejarah itu nampak jauh dari kenyataan, dan hanya terdengar seperti cerita dongeng. Tak ada yang lekat dan hidup dalam cerita-cerita yang dituturkan dalam buku-buku pelajaran itu.

Membaca tetralogi Pram membuka mataku bahwa ternyata cerita dongeng dari guruku dulu itu adalah cerita nyata, bahwa itu memang terjadi di bumi Indonesia ini. Hmmm… menyeramkan, aku yang lahir dan besar di Indonesia, tidak tahu apa-apa tentang negeri ini. Apakah ini juga yang dialami oleh sebagian besar orang di Indonesia? Bahwa mereka sama sekali buta tentang sejarah, sama seperti mereka buta bahwa Indonesia ini kaya dengan kopi. Bahwa kopi telah menjadikan banyak negara di dunia ini ingin menguasai Indonesia, menjajah Indonesia agar mereka dengan bebasnya bisa mengambil kopi ini untuk kepentingan mereka sendiri? Tidak hanya kopi ternyata yang membuat para perampok berbaju militer itu dan berlagak pahlawan itu datang ke Indonesia, tapi juga tanaman lain yang tidak mungkin bisa tumbuh di negara mereka seperti tebu, cengkeh dan teh.

Dan sekarang, betapa bangsaku ini terjajah oleh warganya sendiri! Orang-orang di kota dan pusat pemerintahan yang menamakan diri sebagai pemimpin telah memeras tenaga manusia-manusia yang seharusnya dibelanya hanya demi kepentingan mereka, hanya demi hidup mereka. Anggaran negara yang diperoleh dari tetesan keringat tiap warga dianggap sebagai uang saku untuk jalan-jalan ke negara-negara indah dalam dongeng. Budget untuk membangun masyarakat dibuat hanya cukup untuk para pemimpin menengok para petani saat panen raya. Dan tak sepeserpun jatuh ke tangan petani bahkan untuk membeli pupuk. Petani harus bisa membuat kompos, nelayan cukup pakai perahu dayung. Tapi pengusaha pertanian, boleh memborong pupuk dari Petrokimia atau Pabrik lain, dan pengusaha perikanan boleh membuat kapal berpukat harimau.

Ahh.. kopiku sudah mulai dingin… sebaiknya aku nikmati sebelum aku berangkat ke kantor, bekerja untuk hidupku, untuk bangsaku, tapi tentu bukan untuk mereka yang ingin menjajah kopiku. Hmmm betapa nikmat kopi bali ini, hitam pekat sepekat semangat masyarakatnya ketika mengusir Belanda dari tanah kelahirannya di perang Puputan. (heny, 29 Maret 2007)

No comments: